Mengenang Prof Surna Tjahja Djajadiningrat (Pak Naya) oleh Indracahya Kusumasubrata
Saya kenal beliau tidak hanya sebagai dosen penguji tapi kemudian juga sebagai mitra kerja selain ada hubungan kekerabatan jauh. Pak Naya sempat menjabat sebagai Deputy Menteri di Kemen KLH era Soeharto dimana Prof Emil Salim menjadi mentrinya. Beliau juga pernah menjabat Staff Ahli dan Dirjen di Kementerian ESDM. Terakhir beliau habiskan seluruh dayanya dengan mengajar antara lain di SBM ITB. Orang luar lebih mengenal beliau sebagaiorang LH atau management ketimbang sebagai orang Teknik Industri. Beliau lulus S 3 dari sekolah yg kata PakKuntoro, paling susah lulusnya di seluruh dunia. Hawaii University. Karena belajar sambil berenang di pantai, main golf atau surfing memang gak gampang. Wawan Widhyawan TI ITB 79 bisa ditanya soal ini. Sebagaipejabat di pemerintahan Pak Naya adalah pekerja yang lurus sehingga praktis tidak ada beban utang persoalan. Sebaliknya mungkin dia termasuk orang yang kerap menghela nafas panjang dan mengurut dada melihat banyak penyimpangan yang berada diluar batas kemampuan beliau untuk mengatasi. Pernah karena persyaratan administrasi beliau harus ikut kursus untuk menduduki jabatan yang akan dia pegang. Ini memang tidak perlu karena secara teknis dia lebih pintar dari pangajarnya. Dan dari segi integritas sudah teruji bahkan lebih baik dari integritas pengajarnya. Saya memahami yang dimaksud karena kenyataannya kursus2 pejabat tinggi negara kita dikelola sedemikian rupa sehingga lebih merupakan formalitas daripada proses penggemblengan dan penyaringan pemimpin dengan integritas yang tinggi. Pak Naya tidak pernah berhenti dan menyerah dalam segala hal termasuk mengajar, mencari makna hidup dan melawan penyakit yang dideritanya jauh sebelum beliau akhirnya berpulang. Dalam usianya yang lanjut dan tubuh yang renta beliau masih pulang pergi Jakarta-Bandung mengajar antara lain di MM SBM ITB di kawasan Kuningan. Pernah saya lihat gambarnya terpampang di baligo MM ESQ di Jl TB Simatupang, Jakarta. Komitmennya kepada kominitas Teknik Industri tidak pernah surut. Ketika tubuhnya baru pulih dari penyakit yang dideritanya, beliau pentingkan hadir main golf bersama sama. Beliau pernah melansir perlunya neraca kekayaan negara dimana Sumber Daya Alam dihitung dan dimasukkan sebagai asset sehingga kita bisa mengukur apakah sejalan dengan berjalannya waktu, kita ini semakin kaya atau semakin miskin. Setahu saya neraca ini sampai sekarang belum ada. Sekarang justru tiba saatnya neraca amal ibadah beliau dihitung. Saya berharap neraca amal ibadah beliau positip. Disisi asset amal kebaikan tinggi disisi utang kesalahan dan dosa rendah sehingga equity beliau positip. Mudah2an dengan ilmu yang beliau ajarkan, amal jariah yang beliau keluarkan dan doa dari anak2nya ang baik, meskipun beliau sudah wafat, asset kebaikan beliau terus bertambah. Selamat jalan Pak Naya yang saya hormati dan saya cintai. Kali ini giliran Pak Naya dan akan tiba giliran kita masing2. Kematian memang bukan sistim antrian atau sistim inventory dg metoda first in first out.
|