Djatnika, mugi2 di hampura ku Gusti, (Djatnika, mudah2an dimaafkan Allah SWT).
Kesabaran itu barang mahal. Hanya orang kaya yang memiliki barang mahal. Saat pelaksanaan haji mereka yang pernah menjalankan mestinya mengalami situasi ketika kesabaran kita diuji, maka berulang ulang ada yang mengingatkan : “Sabar, innaloha ma’a shobiriin.” Bersabarlah karena Allah bersama orang yang sabar. Mudah2an Pa Djatnika adalah salah satu diantara “orang kaya,” orang yang memiliki rasa sabar itu. Kesabaran, yang berbeda dengan “nrimo” yang pasif dalam budaya Jawa adalah aktif. Berusaha terus untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Berusaha terus mencari jalan keluar. Ini yang saya lihat ada di Pa Djatnika. Saya tidak melihat beliau hanya pada saat harus menanggung penyakit kanker paru-paru yang meskipun sudah berhabis cara para dokter berusaha mengatasinya tetap tidak tersembuhkan, lebih buruk dari itu, penyakit Pa Djatnika itu masih bagian dari mistery yang belum diketahui penyebabnya. Kesabarannya diperlihatkan dengan keuletannya mengatasi kesulitan ketika Persatuan Insinyur Indonesia (PII) harus terseok-seok tanpa dana yang memadai dan tanpa pengakuan kebaradaan “insinyur” (pengakuan ini baru terjadi tahun 2014 setelah UU No 11 tentang keinsinyuran keluar). Beliau adalah Sekjen pada era Ir. Arifin Panigoro sebagai Ketua Umum PII dan berlanjut ke era Ir. A Qoyum. Keuletannya juga ditunjukkan ketika dalam kesehatan yang sudah terganggu beliau menyelesaikan S3 nya di UI. Kesabarannya terhadap penyakit ditunjukkan dengan tidak pernah mengeluh. Ketika saya mengunjungi beliau di RS Cinere, reaksi gembira yang saya dapatkan. Ibarat tali yang terjalin, atau bagai dua unsur kimia yang saling mengisi, atau istilah yang umum dipergunakan “the chemistry is match”, ikatan saya dengan Pa Djatnika terjadi dari beberapa kegiatan. Sejak saya aktif di PII, sebagai Ketua Badan Kejuruan Teknik Industri, kami sering bekerjama. Di luar PII dia beberapakali mengajak saya bersama teman-teman pengurus BK Kimia, main golf di Pangkalan Jati. Pagi2 sekali. Ini berlanjut meskipun pada saat paru-paru beliau sudah diangkat sebagian. Terakhir kami bermain bersama-sama di Senayan, dan itu mungkin adalah golf beliau terakhir. Karena setelah itu beliau sakit lagi dan harus keluar masuk rumah sakit lagi. Pa Djatnika masih tercatat sebagai Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia (YPTI), yayasan yang menjadi pendiri dan pemilik Institut Teknologi Indonesia di Serpong. Yayasan ini merupakan perpanjangan tangan PII dalam urusan pendidikan. Dia yang menarik saya menjadi sekretaris Dewan Pengawas di Yayasaan tersebut pada tahun 2004an. Kondisi ITI pada saat itu sangat buruk. Namun kerjasama kami dengan pengurus diantaranya Ir. Iman Sucito Umar, Ir. Indrajit Kartowiyono, dukungan ketua umum dan ketua harian BJ Habibie dan Ir. Aburizal Bakrie dan rektor ITI Dr. Ir. Isnu Wardiyanto bersama segenap civitas akademika ITI, membuahkan hasil. ITI pulih dan kembali semarak. Ketika saya bertekad untuk membangkitkan BKTI dari ke-vacum-an dimana saya menggulirkan beberapa kegiatan, salah satu kegiatan adalah pogram yang merupakan kerjasama BKTI dan BKK yaitu International Conference on Resource Based Industry (ICRBI) dengan mengambil kasus Kalimantan Timur atau kebih spesifik lagi KEK Maloi. Pa Djatnika support abis. Ketika Focus Group Discusion pertama diselenggarakan di Kantor PT Badak NGL untuk kepentingan ini, dia datang. Padahal dia dalam keadaan tidak terlalu sehat dan baru saja keluar dari rumah sakit. Kita waktu itu sampai bergurau bahwa kegiatan ini membangkitkan semangat Pa Djatnika, dan kalau kalau kita ingin dia hidup terus, persiapan program ini harus terus kita lakukan. Program ini memang akan kita lanjutkan insya Allah tahun depan sebagai bagian dari “The First Annual Conference of Indonesian Industrial Engineers” yang mengambil tema “Penguatan Struktur Industri Nasional”. Pa Djatnika adalah salah satu penerima penghargaan PII untuk kategori pengabdian sumur hidup tahun 2014 yang baru saja di selenggarakan tanggal 26 November 2104 di JCC. Penghargaan ini diberikan kepada mereka para senior yang mempunyai kontribusi terhadap engineering, organisasi PII dan orang yang bisa dianggap tokoh nasional. Saya adalah salah satu anggota tim Juri yang ditunjuk pengurus Pusat PII. Tim juri di ketuai Prof Dr. Wiratman. Pa Djatnika, meskipun tidak hadir, menerima penghargaan ini bersama tokoh lain diantaranya mantan ketua PII (Ir. Aburizal Bakrie, Ir. A Arifin Panigoro, Ir Rauf Purnama, Ir. A Qoyum) dan tokoh lainnya seperti Prof Dr. Mathias Aroef, Ir. Ruslandiwirjo, Alm Prof Dr. Surna Tjahja Djajadinigrat. Yang sebetulnya berhak untuk mendapatkan penghargaan tersebut tidak terbawa saat itu adalah Ir. Iman Sucipto Umar, mantan sekjen dan pengurus YPTI (saya harus minta maaf untuk ini). Beda tahun, beda umur, beda jurusan tidak membuat saya tidak merasa dekat dengan dia. Kesabaran dan komitmennya patut kita tiru. Perhatikan bahwa kata komitmen tidak kita temukan padan katanya dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa barang itu tidak di kenal oleh kita. Salah satu kenangan tentang dia adalah ketika saya tunjukkan flashdisk. Waktu itu flashdisk belum banyak dan masih mahal. Saya bilang, pa Djatnika, lihat ini barang segede ini berisi begitu banyak data dan informasi. Ini isinya lebih kecil dari apa yang kita pegang. Makin tahun chip memory ini akan makin kecil dan makin kecil tapi berbanding terbalik dengan kapasitasnya dia akan makin banyak dan makin banyak isinya. Ini itibar, sebagaimana kita kenal dalam Al Quran, di hari akhir nanti setiap komponen tubuh kita akan ditanya dan menjadi saksi atas perilaku kita di dunia. Setiap komponen tubuh kita adalah chip memory yang berisi data perilaku kita. Besoknya dia telepon, enya, nya (iya ya), itu mungkin yang akan terjadi di hari nanti, setiap komponen kita berisi data dan akan didownload, dikuras datanya sehingga data tersebut akan menjadi evidence yang tidak terbantahkan dan, naudzubillahmin dzalik, kita akan malu menyaksikannya, takut menghadapi sangsinya dan kita tidak mampu menyangkalnya. Hari ini, 30 November 2014, tubuh saudara kita, Dr. Ir. Djatnika S Puradinata akan dikubur. Tubuhnya akan hancur tapi data yang sudah terekam di “chip memori”nya kelak akan di download dan didisplay. Tidak ada yang saya harapkan bahwa hanya kebaikan saja yang terlihat. Saya harap kesabaran dia selama sakit telah menggugurkan seluruh dosanya. Sehari sakit yang di terima dengan sabar akan menggugurkan dosa selama setahun. Itu yang saya ketahui disebutkan dalam hadits nabi. Citapen, Ciawi Bogor, 30 November 2014 |