7 Jurus Sektor Industri untuk Hadapi Perang Dagang Bisnis.com, BOGOR — Pemerintah menyiapkan tujuh strategi memperkuat industri di dalam negeri untuk menangkal dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China, sekaligus menjaga ketahanan ekonomi nasional di tengah depresiasi rupiah.
Kesiapan sektor industri di tengah perang dagang menjadi tema headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (10/7/2018). Berikut laporan selengkapnya. Sejumlah strategi yang akan ditempuh dalam jangka pendek dan menengah itu disepakati dalam rapat terbatas di Istana Bogor, Senin (9/7/2018). isnis merangkum sejumlah siasat tersebut berdasarkan pernyataan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam dua kali konferensi pers seusai rapat terbatas. (lihat grafis) Pada intinya, strategi yang dimaksud bertujuan memperkuat ekonomi nasional, menjaga iklim investasi, dan sekaligus menciptakan situasi yang kondusif bagi dunia usaha di tengah kondisi ketidakpastian saat ini. “Bapak Presiden sudah menyampaikan bahwa kita melakukan optimalisasi tool fiskal, baik dalam bentuk bea masuk dan bea keluar. Mengenai harmonisasi bea masuk itu sendiri, agar industri mempunyai daya saing dan mampu melakukan ekspor,” ujar Erlangga. Hal senada diungkapkan oleh Sri Mulyani. Kekuatan struktur industri nasional dibandingkan dengan kompetitor menjadi fokus yang dibahas dalam rapat terbatas. Menkeu menegaskan pemerintah akan terus meneliti dan mengantisipasi berbagai kemungkinan sepanjang semester II/2018. Dalam 6 bulan pertama, pemerintah akan menerbitkan instrumen untuk membantu mengurangi tekanan perang dagang. Adapun, dalam jangka 1 tahun hingga 18 bulan ke depan, pemerintah melakukan mitigasi untuk meminimalisasi risiko pada dunia usaha. Pasalnya, faktor yang paling memengaruhi kondisi perekonomian terkini adalah ketidakpastian dari arah kebijakan negara-negara yang terlibat perang dagang. “Namun, pada saat yang sama, penyesuaian pada lingkungan yang baru ini harus dilakukan juga. Jadi tidak semuanya harus terproteksi karena dunia berubah,” tambahnya. Kendati demikian, Sri Mulyani belum menyebutkan kapan beragam fiscal tool tersebut akan diterbikan. Menurutnya, kesepakatan antara Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan akan terlebih dahulu dibahas oleh Menko Perekonomian dengan memperhatikan industri mana yang paling cepat terdampak terhadap instrumen tersebut. “Nanti kita lihat dalam rapat dengan Menko. Begitu kita identifikasi itu adalah suatu yang bisa dilakukan cepat dan sangat bisa membantu dunia usaha, maka kita lakukan.” Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengakui bahwa perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dengan China lebih berdampak kepada kepercayaan investor, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha di Tanah Air. “Kita harus menyiapkan insentif tambahan untuk menanggapi dan menanggulangi sentimen investor.” Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan saat ini otoritas perdagangan tengah menyusun daftar komoditas impor apa saja yang akan dikenakan bea masuk. Dia mengungkapkan, komoditas yang nantinya akan menjadi fokus utama dalam skema kebijakan tersebut a.l. barang-barang konsumsi. “Sudah ada mandat , maka saya berani ambil langkah lebih lanjut . Kalau barang modal dan bahan baku penolong, jelas tidak akan kami kenai,” kata Oke. Berbagai rencana penguatan industri itu ditanggapi positif oleh pelaku usaha. Kendati demikian, pemerintah diminta berhati-hati dalam memberlakukan kebijakan bea masuk dan bea keluar, dalam menangkal dampak negatif perang dagang antara AS dan China agar tidak menciptakan situasi yang justru kontraproduktif bagi Indonesia. “Kami tentu senang sekali kalau misalnya itu bisa diterapkan, tetapi harus diingat Indonesia adalah anggota WTO,” ujar Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani. Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta mengatakan Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengendalikan impor, terutama untuk barang jadi. “Hanya barang modal dan bahan baku yang tidak diproduksi di dalam negeri saja yang boleh diimpor. Bea masuk anti dumping atau safeguard harus diimplementasikan untuk melindungi industri dalam negeri,” katanya. Menurutnya, langkah penurunan impor bakal menyelamatkan nilai tukar, selain utang luar negeri. Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman S. Simanjuntak menyorot persoalan daya saing industri domestik. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah membebaskan bea masuk untuk barang modal yang tidak tersedia secara memadai di dalam negeri. “Yang penting jangan jadikan impor sebagai musuh. Selama produksi barang modal dalam negeri belum cukup, jangan alergi dengan impor.” Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal menilai dalam jangka pendek, pemerintah wajib memperkuat diplomasi perdagangan, setidaknya untuk meredam agar ekspor tidak tertahan akibat perang dagang. “Perlu trade diplomacy untuk menangkal tuduhan-tuduhan yang banyak ditujukan terhadap produk-produk ekspor Indonesia, seperti dumping dan tidak ramah lingkungan,” jelasnya. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto menilai beragam strategi itu akan menghadapi tantangan dalam implementasinya. Contohnya, jaminan ketersediaan bahan baku yang di sisi lain akan kontradiktif dengan semangat substitusi impor. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu mendata kebutuhan bahan baku yang penting dan mendesak, lalu memberikan insentif kepada pengusaha dalam negeri yang mampu menyediakan bahan baku tersebut. Secara terpisah, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan perang dagang antara AS dan China akan membuat risiko di pasar keuangan menjadi lebih tinggi, dan pada ujungnya akan menyebabkan penarikan modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia… Selengkapnya dapat dibaca disini (source) : |